Cari Blog Ini

Jumat, 15 April 2011

Demam tifoid pada anak: apa yang perlu diketahui


Angka kejadian demam tifoid (typhoid fever) diketahui lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang di daerah tropis, sehingga tak heran jika demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan di negara kita. Di Indonesia sendiri, demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan yang serius. Demam tifoid erat kaitannya dengan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.

Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis ringan.

Prof. DR. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K) dari Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM menjelaskan bahwa anak usia sekolah yang sudah bisa jajan sendiri merupakan yang paling rentan terinfeksi demam tifoid. “Anak di bawah usia 5 tahun biasanya yang memberikan makanan adalah ibunya, tentunya ibunya memberikan yang bersih, tidak sembarangan beli. Sementara kalau bayi kan belum makan, belum jajan, masih minum ASI,” kata Prof. Sri.


Gejala Klinis Demam Tifoid

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala yang ringan sekali sehingga tidak terdiagnosis, dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid), sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gejala klinis demam tifoid pada anak cenderung tidak khas. Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid makin tidak khas. Umumnya perjalanan penyakit berlangsung dalam jangka waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.

“Pada orang dewasa, gejala klinis demam tifoid cenderung berat. Tetapi pada anak kecil makin tidak berat. Anak sekolah di atas usia 10 tahun mirip seperti gejala klinis orang dewasa, yaitu panas tinggi sampai kekurangan cairan dan perdarahan usus yang bisa sampai pecah (perforasi),” ujar Prof. Sri.

Beberapa gejala klinis yang sering terjadi pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
  • Demam
    Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya, demam hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat mencapai 39-40 °C.
    Intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam makin tinggi, kadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.
    Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas pada demam tifoid. Tipe demam menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
  • Gangguan saluran pencernaan
    Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi selaput kecoklatan dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, pada penderita anak jarang ditemukan. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati, disertai mual dan muntah. Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara dewasa cenderung mengalami konstipasi.
  • Gangguan kesadaraan
    Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan. Sering ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium (mengigau) lebih menonjol.
  • Hepatosplenomegali
    Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.
  • Bradikardia relatif dan gejala lain
    Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 °C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan.
    Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (bintik kemerahan pada kulit) yang biasanya ditemukan di perut bagian atas, serta gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan.

Komplikasi Demam Tifoid

Menurut Prof. Sri, pada akhir minggu ke-2 sampai masuk minggu ke-3 merupakan masa yang berbahaya. Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Dengan terapi yang tepat, banyak penderita yang sembuh dari demam tifoid. Namun tanpa terapi yang tepat, beberapa penderita mungkin tidak selamat dari komplikasi demam tifoid.

Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah:
  • Perdarahan usus dan perforasi
    Perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini. Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja.
    Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera.
  • Komplikasi lain yang lebih jarang
    • Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
    • Pneumonia.
    • Peradangan pankreas (pankreatitis).
    • Infeksi ginjal atau kandung kemih.
    • Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
    • Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis.
Prof. Sri menjelaskan, ada 2 jenis komplikasi pada demam tifoid, yakni komplikasi yang terjadi di luar usus dan di dalam usus.
  • Komplikasi di luar usus
    Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit. Usahakan cairan yang masuk harus banyak, baik air putih, teh manis, jus buah atau susu. Panas yang tinggi juga dapat mengakibatkan anak kejang (kejang karena demam).
  • Komplikasi di dalam usus
    Luka di dalam usus dapat menimbulkan perdarahan sehingga tinja berdarah. Usus yang luka ini dapat pecah. Gejala lainnya berupa perut kembung dan panas tinggi sampai tidak sadar.

Penyebab Demam Tifoid

Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Sementara demam paratifoid yang gejalanya mirip dengan demam tifoid namun lebih ringan, disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, atau C. Bakteri ini hanya menginfeksi manusia. Penyebaran demam tifoid terjadi melalui makanan dan air yang telah tercemar oleh tinja atau urin penderita demam tifoid dan mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa) demam tifoid.

Di beberapa negara berkembang yang masih menjadi daerah endemik demam tifoid, kasus yang terjadi umumnya disebabkan pencemaran air minum dan sanitasi yang buruk. Infeksi terjadi jika anda mengkonsumsi makanan yang disiapkan oleh penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan baik setelah ke toilet. Infeksi dapat juga terjadi dengan meminum air yang telah tercemar bakteri Salmonella.

Walaupun telah diobati dengan antibiotik, sejumlah kecil penderita yang sembuh dari demam tifoid akan tetap menyimpan bakteri Salmonella di dalam usus dan kantung empedu, bahkan selama bertahun-tahun. Orang ini disebut sebagai carrier kronis yang dapat menyebarkan bakteri melalui tinja mereka dan dapat menginfeksi orang lain. Perlu diwaspadai bahwa seorang carrier tidak memiliki gejala demam tifoid.

“Penularan yang paling berbahaya dari tinja. Misalnya kita jajan, kalau yang mengelola jajanan itu jorok, setelah ke toilet tidak cuci tangan dengan sabun kemudian dia membuat makanan, pasti makanan itu akan tercemar Salmonella. Atau dia memakai air yang kurang bagus, misalnya air sumur yang tercemar,” jelas Prof. Sri.


Diagnosis Demam Tifoid

Diagnosis pasti demam tifoid atau bukan diperoleh dengan identifikasi Salmonella typhi melalui kultur darah. Sampel untuk kultur dapat diambil dari darah, sumsum tulang, tinja, atau urin. Sampel darah diambil saat demam tinggi pada minggu ke-1. Sampel tinja dan urin pada minggu ke-2 dan minggu selanjutnya. Kultur memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Sampel ditanam dalam biakan empedu (gaal culture).

“Sekali kita diagnosis demam tifoid, betul-betul harus kita eradikasi, jangan sampai nantinya jadi carrier. Untuk diagnosa pasti demam tifoid, harus diperiksa bakteri Salmonella typhi ada atau tidak. Kalau hasilnya positif, sudah pasti sakit (demam tifoid) dan itu harus diobati dengan benar. Kultur harus disebutkan terhadap Salmonella, karena memerlukan media empedu, jadi bukan sembarang kultur,” ungkap Prof. Sri.

Bila positif ditemukan bakteri Salmonella typhi, maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Kultur sumsum tulang belakang merupakan tes yang paling sensitif untuk Salmonella typhi. Kultur sampel tinja dan urin dimulai pada minggu ke-2 demam dan dilaksanakan setiap minggu. Bila pada minggu ke-4 biakan tinja masih positif maka pasien sudah tergolong carrier.

Prof. Sri menambahkan, pada orang dewasa, bakteri Salmonella dapat bersembunyi di kantung empedu sehingga orang tersebut menjadi carrier. Seorang carrier mengidap kuman Salmonella tetapi dia tidak sakit. Sewaktu-waktu Salmonella ini dapat keluar bersama empedu jika carrier mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak. Pada waktu empedu keluar, bakteri Salmonella juga ikut keluar, sehingga terus saja dibuang melalui tinja. Orang yang seperti ini yang berpotensi menularkan demam tifoid. Sumber carrier ini umumnya orang dewasa yang mempunyai Salmonella di kantung empedu. Anak biasanya jarang sekali menjadi carrier.


Pengobatan Demam Tifoid

Penderita demam tifoid dengan gejala klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit. Di samping untuk optimalisasi pengobatan, hal ini bertujuan untuk meminimalisasi komplikasi dan mencegahan pencemaran dan atau kontaminasi.
  • Tirah baring
    Penderita yang dirawat harus tirah baring (bed rest) dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus istirahat total.
  • Nutrisi
    • Cairan
      Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
    • Diet
      Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, biasanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

  • Terapi simptomatik
    Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita, yakni vitamin, antipiretik (penurun panas) untuk kenyamanan penderita terutama anak, dan antiemetik bila penderita muntah hebat.
  • Antibiotik
    Antibiotik segera diberikan bila diagnosis telah dibuat. Antibiotik merupakan satu-satunya terapi yang efektif untuk demam tifoid. Antibiotik yang diberikan sebagai terapi awal adalah dari kelompok antibiotik lini pertama untuk demam tifoid. Sampai saat ini kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan carrier dan relaps. Kejadian carrier dan relaps pada anak jarang dilaporkan.

    Antimikroba lini pertama untuk demam tifoid adalah:
    • Kloramfenikol.
    • Ampisillin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil).
    • Trimetroprim-Sulfametoksazol (Kotrimoksazol).
Jika pemberian salah satu anti mikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua.

Antimikroba lini kedua untuk demam tifoid adalah:
    • Seftriakson (diberikan untuk dewasa dan anak)
    • Cefixim (efektif untuk anak)
    • Quinolone (tidak dianjurkan untuk anak di bawah usia 18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).
Untuk antibiotik, Prof. Sri sedikit mengingatkan tentang masalah resistensi antibiotik. Multi drug resistance terjadi jika sudah terjadi resistensi kuman terhadap 2 di antara 3 antibiotik lini pertama. “Tapi kalau kasus demam tifoid pada anak, di RSCM, sampai saat ini kita masih berikan kloramfenikol atau kotrimoksazol. Untuk kasus yang berat baru kita berikan sefalosporin,” jelas Prof. Sri.

Pengobatan terhadap demam tifoid pada anak harus dilakukan secara tuntas. Umumnya diperlukan terapi antibiotik dosis tinggi selama 10 hari. Anak dapat dirawat di rumah sakit selama 5 hari, bila panasnya sudah turun, sudah mau makan, dan tidak ada komplikasi, maka 5 hari berikutnya anak dapat dirawat di rumah. Namun pasien harus tetap disiplin minum obat, karena kalau tidak, kuman Salmonella tidak mati. “Yang namanya pengobatan eradikasi itu betul-betul harus tuntas, jangan sampai kambuh, kemudian jadi carrier”, tegas Prof. Sri.

Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh bakteri Salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan yakni:
  • Mengobati secara sempurna pasien dan carrier demam tifoid.
  • Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan.
  • Perlindungan dini agar tidak tertular.
Demam tifoid dapat dicegah dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. “Orang Indonesia itu umumnya cuci tangan setelah makan, padahal harusnya sebelum makan. Setelah makan, tangannya kotor, baru dicuci. Tapi kalau sebelum makan dia lupa. Padahal tangan itu paling kotor, kena segala macam. Lewat tangan kita bisa memindahkan kuman. Di sinilah kesadaran kita masih kurang,” sesal Prof. Sri.

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:
  • Cuci tangan.
    Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
  • Hindari minum air yang tidak dimasak.
    Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
  • Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
    Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
  • Pilih makanan yang masih panas.
    Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
  • Sering cuci tangan anda.
    Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
  • Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
    Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
  • Hindari memegang makanan.
    Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
  • Gunakan barang pribadi yang terpisah.
    Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan Vaksinasi

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.

Membuat tubuh kebal melalui vaksinasi merupakan bagian dari upaya perlindungan diri dari penularan demam tifoid. Sampai saat ini vaksin tifoid oral baru diprioritaskan untuk pelancong, tenaga laboratorium mikrobiologis, dan tenaga pemasak/penyaji makanan di restoran atau hotel. Namun mengingat demam tifoid dengan morbiditas cukup tinggi, vaksinasi terhadap tifoid sudah harus dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak, setelah mereka mengenal jajanan yang tidak terjamin kebersihannya.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
  • Vaksin oral Ty 21a
    Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu, 1 jam sebelum makan. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Lama proteksi dilaporkan 5 tahun.
  • Vaksin parenteral sel utuh
    Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
  • Vaksin polisakarida
    Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
Di Indonesia, vaksinasi tifoid termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi yang dianjurkan. Menurut Prof. Sri yang juga adalah Ketua Satgas Imunisasi IDAI, vaksinasi tifoid masih dianjurkan, yang artinya belum disediakan secara gratis oleh pemerintah. Vaksin tifoid yang diberikan ke anak umumnya adalah vaksin polisakarida dalam bentuk injeksi. Vaksin tifoid ini harus diulang setiap 3 tahun sekali, dan pasien terkadang lupa jika tidak diingatkan. Anak dianjurkan diberikan vaksin tifoid jika sudah berumur lebih dari 2 tahun, dimana antibodi anak sudah siap menerima vaksin yang disuntikkan dan sudah mulai terpapar oleh bakteri Salmonella dari makanan (jajanan) yang tercemar.

Suatu saat nanti, mungkin saja Indonesia bebas dari demam tifoid. Menurut Prof. Sri, hal yang penting adalah penyediaan air minum yang bersih. Air yang digunakan untuk minum dan dikonsumsi harus direbus dulu sampai mendidih. Ini menyangkut edukasi masyarakat tentang pentingnya kebersihan.


Narasumber:
Tentang Prof. DR. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K)sri_rezeki_hadinegoro
Beliau merupakan guru besar Ilmu Kesehatan Anak dari FKUI. Kegiatan beliau saat ini adalah sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta.

Menempuh pendidikan dokter umum dari FK Universitas Padjajaran (lulus tahun 1972). Kemudian melanjutkan spesialis Ilmu Kesehatan Anak FKUI (lulus tahun 1983). Memperoleh gelar doktor Ilmu Kesehatan Anak FKUI di tahun 1996 dan diangkat sebagai guru besar Ilmu Kesehatan Anak di FKUI tahun 2000.

Beliau dapat ditemui di Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

Organisasi:
  • Ketua Bidang Ilmiah Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
  • Ketua Satuan Tugas Imunisasi IDAI
  • Ketua Komite Nasional Penganggulangan dan Pengkajian Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (Komnas PP KIPI) - Departemen Kesehatan
  • Board member of Asian Society of Pediatric Infectious Disease (ASPID)
  • Board member of Asia-Pacific Pediatric Infection and Prevention
  • Ketua Tim Ahli Imunisasi Nasional-Technical Advisory Group (TAG-MOH)
  • Member of Asian Strategic Alliance for Pneumococcal Disease (ASAP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar